24 Mrt. 2013

RSBI, Buah Kedangkalan Pemerintah


Posted : Rina
sabtu 23 Maret 2013
Ilustrasi: siswa belajar di ruang kelas. (Foto: Heru Haryono/Okezone)
Ilustrasi: siswa belajar di ruang kelas. (Foto: Heru Haryono/Okezone)
JAKARTA - Pembatalan pasal tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) atau Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukkan bahwa ada persoalan besar pada tingkat implementasi pendidikan Indonesia. Sebelum RSBI/SBI, MK juga memutuskan perkara tentang Badan Hukum Pendidikan (APBN) dan ketentuan anggaran pendidikan yang tidak mencapai 20 persen dari APBN.

Pengamat pendidikan M Abduhzen menilai, keputusan MK ini tepat meskipun tidak menyelesaikan persoalan mendasar pendidikan. Menurutnya, harusnya keputusan MK ini menjadi sebuah bahan pemikiran dari pemerintah, terutama presiden, untuk melihat kinerja dari pihak-pihak yang memiliki otoritas mengelola pendidikan.

Dia mengimbuh, implementasi pengelolaan pendidikan membutuhkan sebuah interpretasi atas undang-undang. Tetapi, karena malas berpikir atau keterbatasan lainnya, ada interpretasi keliru.

"Atau, bisa jadi semangatnya memang ingin mencari jalan pintas sehingga sering kali pengkajian undang-undang tersebut menjadi dangkal dan tidak tepat sasaran. RSBI adalah salah satu contohnya," ujar Abduhzen ketika berbincang dengan Okezone, Rabu (9/1/2013). 

Pengajar di Universitas Paramadina ini memaparkan, Pasal 50 ayat (3) UU No 20 Tahun 2003 (Sisdiknas) tidak memaparkan secara rinci apa yang dimaksud dengan RSBI/SBI. Pasal tersebut hanya menyatakan, "Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang- kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional."

Seharusnya, kata Abduhzen, ada pengkajian dan paparan rinci tentang apa itu satuan pendidikan bertaraf internasional, kriteria apa yang diperlukan, bagaimana sistem pembelajarannya, dst. Dengan demikian, akan tercermin jelas kualitas seperti apa yang ingin dicapai  dalam undang-undang.

Kenyataannya, sekolah berstandar internasional di Indonesia diinterpretasikan sebagai sekolah dengan bayaran mahal dan menggunakan bahasa pengantar Inggris. Abduhzen mempertanyakan, apakah kriteria ini yang menjadi kebutuhan bagi Indonesia?

"Kriteria ini justru menyita banyak dana karena dimaksudkan untuk mendongkrak kualitas pendidikan, padahal peningkatan kualitas itu pun belum tercapai," imbuhnya.  

Seperti diketahui, MK membatalkan pasal tentang RSBI/SBI dalam UU Sisdiknas. Sekolah ini dinilai bertentangan dengan konstitusi dan merupakan bentuk liberalisasi pendidikan. Dengan sistem ini hanya siswa dari keluarga kaya yang bisa mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di RSBI atau SBI. Sebaliknya, sekolah RSBI dan SBI menutup peluang bagi diterimanya siswa dari keluarga tidak mampu.(rfa)

0 komentar:

Plaas 'n opmerking